menghadirkan tulisan yang informatif, inspiratif, dan inovatif

Pramoedya Ananta Noer

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Biografi Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan Besar Indonesia


Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan besar di Indonesia. Beliau telah banyak membuat karya yang banyak menggambarkan perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan. Contohnya saja yang kita kenal adalah Tetralogi Pulau Buru yang terdiri dari Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Kumpulan novel semi fiksi sejarah, yang menceritakan tokoh Minke, bangsawan kecil Jawa yang mencerminkan kisah RM Tirto Adisuryo.
(sumber: waktuku.com)
Banyak pelajaran hidup yang dapat kita ambil dari Pramoedya Ananta Toer atau kita kenal dengan Bung Pram. Berikut ini adalah biografi singkatnya.

Masa Kecil
Pramoedya Ananta Toer lahir pada 6 Februari 1925 di Kampung Jetis, Blora, Jawa Tengah. Beliau merupakan anak pertama dari pasangan Mastoer dan Oemi Saidah. Ayah Pram adalah seorang guru yang pernah menjadi kepala sekolah Institut Boedi Oetomo dan aktivis PNI cabang Blora. Beliau juga seorang penulis, yang barang kali dari sini lah bakat menulis Pram lahir. Sedangkan ibu Pram selain sebagai ibu rumah tangga, ia juga bekerja sebagai pedagang nasi.

Pram menghabiskan masa kecilnya di tempat kelahirannya. Saat sekolah, Pram sering mengajak teman-temannya bermain di halte Pasar Blora sepulang sekolah. Disana mereka mencari bungkus rokok untuk dijadikan mainan, tetapi kebanyakan dibuat alas untuk menulis oleh Pram.

Menurut salah satu sahabat Pram, Ki Panji Konang, Pram sudah menunjukkan kepintarannya seperti mampu mengumpulkan dan memimpin teman-temannya, banyak akal, dan berani mencoba apa pun dalam segala hal.
“Jika kamu tidak obah-polah tidak akan bias mamah-makan”
Artinya orang harus berani mencoba, berusaha keras, dan penuh semangat, yang semua itu berasal dan dimulai dari coba-coba yang nanti akan ketemu tempat tujuannyan merasakan hasilnya, dan takdirnya dalam hidup di dunia.

Sumber lain menyatakan bahwa masa kecil Pram sangat kelam. Pram menerima perlakuan yang sangat keras dari ayahnya yang sangat berdisiplin tinggi. Bahkan Pram sering dikatakan anak goblok karena tidak naik kelas tiga kali saat sekolah dasar. Ia juga ditentang keras oleh ayahnya untuk melanjutkan ke MULO (setingkat SMP) karena dianggap tidak pantas.

Kondisi tertekan ini mempengaruhi psikologis Pram. Ia mengalami masala khususnya rasa minder akut, merasa terkucilkan, tertindas, tertekan dan merasa tidak bernilai di dunia. Pergaulan Pram pun terpengaruh. Ia merasa nyaman untuk bergaul Bersama masyarakat kalangan bawah, seperti anak petani maupun anak buruh.

Perasaan minder ini juga menyebabkan ia sulit berkomunikasi sehingga mendorongnya untuk menulis. Lewat tulisan, ia mengungkapkan segala perasaan yang berkecamuk di dalam pikirannya.

Pendidikan
·      Pendidikan formalnya dimulai dari SD Blora
·      Radio Volkschool Surabaya pada 1940-1941
·      Taman Dewasa/Taman Siswa pada 1942-1943
·   Kelas dan Seminar Perekonomian dan Sosiologi oleh Drs. Mohammad Hatta, Maruto Nitimihardjo
·      Sekolah Stenografi 1944-1945
·      Sekolah Tinggi Islam Jakarta 1945

Karir
·       Juru ketik di Kantor Berita Domei, Jakarta, 1942-1944
·       Instruktur kelas stenografi di Domei
·       Editor Japanese-Chinese War Chronicle di Domei
·       Reporter dan Editor untuk Majalah Sadar, Jakarta, 1947
·       Editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka, Jakarta, 1951-1952
·       Editor rubrik budaya di Surat Kabar Lentera, Bintang Timur, Jakarta, 1962-1965
·       Fakultas Sastra Universitas Res Publica (sekarang Trisakti), Jakarta, 1962-1965
·       Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai, 1964-1965

Masa Perjuangan
Kondisi negara yang mengalami penjajahan membuat Pram melakukan perjuangan baik melawan Belanda, jepang, maupun sekutu yang ingin merebut kembali kemerdekaan Indonesia setelah 1945. Ia mengikuti kelompok militer Jawa dan ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Namun ia ditahan oleh penjajah selama 2 tahun pada 1947-1949.

Ketika bang Indonesia telah merdeka dan akan dijajah kembali oleh Belanda dan sekutunya pada 1945, Pram bergabung dengan kalangan nasionalis. Ia ditangkap dan ditahan Belanda pada 1947 selama 2 sampai 3 tahun. Beberapa data menyebutkan bahwa ia begabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan ditempatkan di Cikampek kesatuan Teruna, kemudian menjadi inti divisi Siliwangi sebagai prajurit II. Dalam waktu singkat ia menjadi sersan mayor.

Ia kembali dipenjara oleh Belanda setelah Agresi Militer pertama pada 21 Juli 1947. Saat itu ia bekerja pada “The Voice of Free Indonesia”. Ia disiksa, kemudian dipenjara di Bukit Duri dan selanjutnya di Pulau Damar.

Selama di penjara, ia banyak mendapat pengalaman. Ia melakukan refleksi diri, belajar hidup pasrah kepada Tuhan, baik hidup, perjuangan, pemikiran, maupun karyanya. Di dalam penjara, ia banyak membuat karya sastra dan belajar Bahasa asing, selain itu ia juga belajar sosiologi, filsafat, dan ekonomi.

Pada 3 Desember 1949, ia dibebaskan atas konsekuensi dari kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB). Namun Pram melihat ini sebagai kekalahan revolusi. Menurutnya, kemerdekaan Indonesia merupakan hasil kompromi melalui KMB, bukan hasil perjuangan revolusi.
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan (13 Oktober 1965 – Juli 1969, Juli 1969 – 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 – 12 November 1979 di Pulau Buru, November – 21 Desember 1979 di Magelang). Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia.
Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat Gerakan 30 September, tetapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.

Menikah dan Membina Rumah Tangga
Pram menikah dengan Maemunah Thamrin, seorang wanita penjaga stan buku di Pekan Buku Gunung Agung. Wanita itu merupakan istri keduanya, setelah ditinggal istri pertamanya karena kondisi ekonomi yang memburuk.

Hal yang menarik dalam kisahnya untuk mendapatkan hati Maemunah adalah bahwa Pram bersaing dengan Soekarno. Namun ia berhasil dengan telaten, teguh, kerja keras dan intens dalam melakukan pendekatan. Maemunah pun menjadi istrinya yang setia sampai akhir hayatnya.

Pram memiliki tiga orang anak dari hasil pernikahannya dengan istri pertama. Sedangkan ia memiliki delapan orang anak dari istri keduanya.

Wafat
Kesehatan Pram menurun akibat penyakit diabetes, sesak napas, dan jantung. Pada 30 April 2006 pukul 08.55 WIB, Pramoedya Ananta Toer wafat dalam usia 81 tahun. Pram meninggalkan seorang istri, delapan anak, dan 15 cucu.
...
"Biasanya manusia takut pada akibat perbuatannya sendiri. Dan sesungguhnya manusia harus berani dan tabah menghadapi segala akibat perbuatannya sendiri. Nasihat memang murah di mana-mana. Tapu yang paling susah adalah menasihati diri sendiri. Dan nasihat pada diri sendiri itulah yang paling manjur"- Pram
Itulah Biografi singkat dari salah satu tokoh pejuang sekaligus sastrawan besar di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Semoga dapat menginspirasi kita semua.

Download ebook gratis Bung Pram disini

Sumber:
Rivai, M. "Biografi Singkat 1925-2006, Pramoedya Ananta Toer". Grasi House Of Book. Yogyakarta:2014.
Back To Top