Halaman

Tampilkan postingan dengan label Motivasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Motivasi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 21 Mei 2025

Bekerja dengan Kesadaran Taktis – Catatan Kecil dari Meja yang Kadang Penuh Laporan, Kadang Penuh Camilan

Dokumentasi pribadi



Tepat pagi ini, saya membaca sebuah tulisan tentang almarhum Ibrahim Sjarief Assegaf — suami dari Najwa Shihab di akun Instagram Narasi. Di situ, terselip satu kalimat yang tidak langsung saya pahami, tapi lama-lama terasa mengendap di kepala: bekerja dengan kesadaran taktis.

Kalimat itu seperti menampar lembut cara saya (dan mungkin banyak dari kita) menjalani pekerjaan. Kalimat itu mengingatkan saya: jangan-jangan selama ini saya bekerja bukan karena sadar, tapi karena sudah terlalu terbiasa.

Di kantor, saya dikelilingi dua kutub budaya kerja. Ada senior yang sudah khatam dengan segala proses, bahkan bisa bikin SOP tanpa buka buku. Ada juga junior yang gesit, kreatif, tapi kadang terlalu semangat sampai lupa mana yang penting dan mana yang cuma tren TikTok. Saya sendiri? Ya, kadang merasa jadi jembatan, kadang juga merasa jadi jembatan yang bolong-bolong.

Yang paling sering saya lihat — dan ini mungkin terdengar akrab buat banyak orang — adalah pola kerja yang penting ada hasil, asal tidak dimarahi, dan kalau bisa, bisa pulang cepat. Tujuan pekerjaan? Itu nanti saja dipikir, yang penting beres dulu. Laporan jadi semacam formalitas yang penting masuk sebelum deadline, bukan cerminan dari proses yang benar-benar menyentuh masyarakat.

Lalu saya kembali ingat frasa tadi: bekerja dengan kesadaran taktis. Bagi saya, itu bukan kerja yang asal cepat, bukan juga yang selalu harus ribet. Tapi kerja yang tahu medan, tahu arah, dan tahu kenapa harus dilakukan. Ada kesadaran tentang siapa yang akan terdampak, dan bagaimana kerja kita — sekecil apapun — punya efek nyata.

Almarhum Ibrahim Sjarief Assegaf dikenal sebagai sosok yang tenang, dalam, dan bekerja dalam diam. Tapi justru dari ketenangannya itu, lahir pengaruh yang besar. Tak banyak bicara, tapi tepat melangkah. Tidak mengejar sorotan, tapi meninggalkan kesan. Semoga Allah merahmati beliau, dan semoga kita yang masih di jalan pengabdian bisa meneladani sedikit dari nilai yang ia hidupkan: bekerja dengan hati, dengan akal, dan dengan kesadaran.

Saya tahu saya belum bisa membawa perubahan besar. Tapi saya mulai dari yang kecil: mencoba hadir penuh dalam setiap tugas, sesederhana menyapa rekan kerja dengan tulus, atau menulis laporan yang tidak sekadar copy-paste dari tahun lalu (ya, saya juga pernah begitu, jangan munafik).

Karena saya percaya, kesadaran itu menular. Dan jika suatu hari lingkungan kerja saya menjadi lebih hidup dan bermakna, mungkin itu bukan karena saya hebat. Tapi karena saya memutuskan untuk sadar — meski awalnya sambil ngopi dan ngemil.

Selasa, 13 Mei 2025

Ketika Hidup Terasa Gila: Renungan di Puncak Sunyi

 

Source : Dokumentasi Pribadi

"When life itself seems lunatic, who knows where madness lies?"
— Tara Westover, Educated

Ada momen dalam hidup ketika semuanya terasa absurd. Kita tahu ada yang salah, tapi tak ada yang berani menunjuk—karena kegilaan sudah jadi kesepakatan umum. Hal-hal yang salah diulang terus sampai jadi kebiasaan, dan ketika seseorang datang membawa kebenaran, ia justru dianggap menyimpang.

Pertanyaan itu saya bawa ketika suatu pagi saya memutuskan mendaki seorang diri. Rencana awal saya ingin snorkeling bersama teman-teman, tapi mereka batal. Dan saya, mungkin karena tak ingin hari itu berlalu begitu saja, memilih mendaki bukit seorang diri.

Saya datang dengan ringan: jaket, hape, dan dompet. Tubuh saya cukup fit, walau mata masih sedikit bengkak. Saya berjalan cepat, melewati rombongan-rombongan lain, dan dalam 35 menit saya sampai di puncak—rekor pribadi saya.

Di sana saya memesan kopi hitam dan mie kuah, duduk di depan warung, dan mulai merenung. Dari ketinggian, saya melihat laut, kota, dan gunung, sebagian diselimuti awan mendung. Tidak hujan di tempat saya berdiri, tapi hujan sepertinya turun di bawah sana—seperti simbol hidup: kadang mendung tidak berarti kita akan basah.

Di sana, saya sadar: kesendirian tidak selalu berarti kesepian. Kadang justru dari sunyi itulah muncul kesadaran—tentang cinta, luka, dan makna kecil yang selama ini kita remehkan.

Saya teringat pasangan saya. Kami sedang berjuang menuju pernikahan, tapi terkendala uang panaik yang dalam budaya kami, bisa mencapai ratusan juta. Saya bukan orang kaya. Dan dia, dulunya cinta kami pernah kandas. Tapi anehnya, saya tetap sayang. Entah kenapa, berjalan dengannya selalu terasa nyaman. Ia manja, tapi juga punya kedewasaan yang membuat saya merasa pulang.

Ada dilema yang tidak bisa saya ceritakan ke banyak orang. Karena ketika cinta diuji bukan oleh rasa, tapi oleh budaya, status sosial, dan masa lalu yang rumit, siapa yang bisa menentukan letak kegilaannya?

Mungkin benar kata Tara Westover, kegilaan itu bukan sekadar kehilangan akal. Kadang, justru dunia yang sudah kehilangan nurani, tapi masih percaya dirinya waras. Dan kita—yang mencoba tetap jujur, merasa aneh sendiri.

Tapi di puncak sunyi itu, saya sadar satu hal: kebahagiaan tidak selalu datang dari apa yang megah. Kadang dari hal sederhana—secangkir kopi, embusan angin, dan keberanian untuk tetap mencintai, walau tak semua bisa dimenangkan. 

Minggu, 11 November 2018

Takut atau Cinta?


Kita terlalu lama duduk dalam kilau terang realitas, realitas yang terlihat nyaman namun justru amat gelap dan kelam

Sabtu, 14 Juli 2018

6 Langkah Membuat Tulisan yang Menarik

(sumber: Plukme.com)

Apa kabar sobat? Saya harap kabar baik dan siap membaca tulisan baru saya.

Sebelumnya, bagaimana semangat menulis sobat setelah membaca tulisan saya tentang  7 Alasan Mengapa Seseorang Harus Menulis?

Jumat, 06 Juli 2018

7 Alasan Mengapa Seseorang Harus Menulis

(sumber: womantriangle.com)

Mengapa sobat harus menulis?
Pertanyaan itu yang mungkin masih sobat cari jawabannya. Saya sendiri baru seminggu aktif dalam kegiatan ini. Walaupun niat untuk menulis sudah ada sejak lama, namun karena saya tidak punya alasan yang kuat untuk menulis, sehingga ide-ide tulisan hanya sekedar melayang-layang di dalam otak saya. Alasan-alasan inilah yang diperlukan untuk memberi motivasi kuat agar segera mengambil alat tulis maupun gadget kita, kemudian menyisihkan waktu luang untuk menulis.