![]() |
Dokumentasi pribadi |
Tepat pagi ini, saya membaca sebuah tulisan tentang almarhum Ibrahim Sjarief Assegaf — suami dari Najwa Shihab di akun Instagram Narasi. Di situ, terselip satu kalimat yang tidak langsung saya pahami, tapi lama-lama terasa mengendap di kepala: bekerja dengan kesadaran taktis.
Kalimat itu seperti menampar lembut cara saya (dan mungkin banyak dari kita) menjalani pekerjaan. Kalimat itu mengingatkan saya: jangan-jangan selama ini saya bekerja bukan karena sadar, tapi karena sudah terlalu terbiasa.
Di kantor, saya dikelilingi dua kutub budaya kerja. Ada senior yang sudah khatam dengan segala proses, bahkan bisa bikin SOP tanpa buka buku. Ada juga junior yang gesit, kreatif, tapi kadang terlalu semangat sampai lupa mana yang penting dan mana yang cuma tren TikTok. Saya sendiri? Ya, kadang merasa jadi jembatan, kadang juga merasa jadi jembatan yang bolong-bolong.
Yang paling sering saya lihat — dan ini mungkin terdengar akrab buat banyak orang — adalah pola kerja yang penting ada hasil, asal tidak dimarahi, dan kalau bisa, bisa pulang cepat. Tujuan pekerjaan? Itu nanti saja dipikir, yang penting beres dulu. Laporan jadi semacam formalitas yang penting masuk sebelum deadline, bukan cerminan dari proses yang benar-benar menyentuh masyarakat.
Lalu saya kembali ingat frasa tadi: bekerja dengan kesadaran taktis. Bagi saya, itu bukan kerja yang asal cepat, bukan juga yang selalu harus ribet. Tapi kerja yang tahu medan, tahu arah, dan tahu kenapa harus dilakukan. Ada kesadaran tentang siapa yang akan terdampak, dan bagaimana kerja kita — sekecil apapun — punya efek nyata.
Almarhum Ibrahim Sjarief Assegaf dikenal sebagai sosok yang tenang, dalam, dan bekerja dalam diam. Tapi justru dari ketenangannya itu, lahir pengaruh yang besar. Tak banyak bicara, tapi tepat melangkah. Tidak mengejar sorotan, tapi meninggalkan kesan. Semoga Allah merahmati beliau, dan semoga kita yang masih di jalan pengabdian bisa meneladani sedikit dari nilai yang ia hidupkan: bekerja dengan hati, dengan akal, dan dengan kesadaran.
Saya tahu saya belum bisa membawa perubahan besar. Tapi saya mulai dari yang kecil: mencoba hadir penuh dalam setiap tugas, sesederhana menyapa rekan kerja dengan tulus, atau menulis laporan yang tidak sekadar copy-paste dari tahun lalu (ya, saya juga pernah begitu, jangan munafik).
Karena saya percaya, kesadaran itu menular. Dan jika suatu hari lingkungan kerja saya menjadi lebih hidup dan bermakna, mungkin itu bukan karena saya hebat. Tapi karena saya memutuskan untuk sadar — meski awalnya sambil ngopi dan ngemil.