Kemarin pagi dimulai seperti biasa, dengan alarm berbunyi pada pukul 06.00. Saya bersiap lebih awal karena ada perjalanan dinas ke Jailolo, Halmahera Barat. Perjalanan yang akan memakan waktu sekitar dua jam dari kantor kami di Sofifi. Seharusnya ini menjadi perjalanan biasa, namun saya mencoba merenungi kesempatan ini lebih dari sekadar perjalanan dinas—ini adalah sebuah kesempatan untuk merenung dan meresapi perjalanan hidup dalam setiap langkahnya.
Pukul 07.30, saya berangkat ke kantor, hanya untuk menyimpan tas, lalu keluar lagi untuk membeli sarapan di mama penjual nasi kuning langganan. Mama sudah sangat mengenal kami. "Aislin?" tanyanya. Saya mengangguk mendengar nama teman saya itu, dan tak lama nasi kuning pun siap dibungkus. Keakraban dalam kebiasaan kecil ini membuat saya merasa seperti di rumah. Saya membayar dengan tiga lembar uang 10 ribu, dan mendapat tiga bungkus nasi kuning yang ditemani mie goreng, abon ikan, dan kerupuk, tak lupa tambahan "dabu-dabu" permintaan Aislin. Makanan yang sederhana, namun penuh kenangan.
Kembali ke kantor pukul 07.45, saya menemukan bahwa tim saya belum ada yang datang. Saya menunggu sambil menikmati nasi kuning, yang saya awali dengan mengaduk nasi kuning dan kodimen lainnya secara merata. Bagi saya, mencampur semua bahan akan membuat rasa lebih menyatu. Mungkin ini juga berlaku untuk kehidupan—kadang kita perlu mencampur berbagai hal untuk menemukan keseimbangan.
Tak lama kemudian, Aislin datang, diikuti Adara dan Naraya. Namun, sayangnya nasi kuning hanya tersisa 2 bungkus, yang satunya sudah jelas milik Aislin. "Naraya saja yang makan," kata Adara. Kami berencana berangkat pukul 08.00, namun ternyata baru pukul 08.45 kami bisa meninggalkan kantor setelah semuanya siap.
Kami sempat berhenti sebentar di pom bensin, namun antrean panjang membuat Aislin memutuskan untuk mengisi bahan bakar nanti di Jailolo, mengingat indikator bahan bakar masih menunjukkan 7 dari 10 baris. Perjalanan kami pun dilanjutkan, singgah sebentar untuk membeli sarapan bagi Adara, dan sedikit cemilan di minimarket. Aislin, yang satu-satunya bisa mengemudi, membawa kami dengan santai dan nyaman. Musik mellow yang ia putar di ponsel yang tersambung dengan pengeras suara mengisi keheningan, dan perjalanan terasa ringan meski panjang.
Rute menuju Jailolo membawa kami melalui desa-desa, kebun pisang, kelapa, cengkeh, dan hutan lebat. Jalanan yang mendaki dan menurun, mengikuti kontur gunung, menciptakan pemandangan yang indah namun juga menantang. Tentu saja, ini bukan perjalanan yang cepat. Kami sempat berharap tiba sebelum pukul 10.00 di desa awal, desa Sidangoli Gam agar bisa mengunjungi dua sekolah, namun kenyataan berkata lain. Kami tiba pukul 10.30, hanya sempat mengunjungi satu sekolah dan kantor kepala desa. Kami terpaksa menunda kunjungan untuk esok lusa.
dokumentasi pribadi |
Setelah itu, perjalanan dilanjutkan ke Jailolo, masih sekitar 1 jam perjalanan. Kondisi yang lebih terjal membuat Naraya merasa mual, dan saat kami akhirnya tiba di Jailolo pukul 12.11, ia langsung mencari tempat untuk beristirahat. Kami memutuskan untuk berhenti sejenak di penginapan, menikmati makan siang, sebelum melanjutkan kunjungan dinas kami.
Perjalanan ini mengingatkan saya bahwa meski banyak hal yang tidak berjalan sesuai rencana, ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari perjalanan itu sendiri. Dari kebiasaan sederhana menikmati nasi kuning yang diaduk hingga berbagi cerita dengan tim, setiap detik terasa bermakna. Mungkin seperti yang sering kita dengar,
"Perjalanan bukan hanya tentang tujuan, tetapi juga tentang apa yang kita temui sepanjang jalan."