Berusaha mengabaikan pesan itu, Aurora menarik selimut, mencoba kembali tidur. Tapi otaknya kembali aktif, bertanya-tanya siapa yang mengiriminya pesan dini hari begini. Setelah beberapa menit bergumul, ia menyerah, meraih ponselnya dan menggulirkan bilah notifikasi.
"Orang jahat."
Hanya dua kata itu yang muncul di layar. Pesan dari Fandi, mantan senior kampusnya yang beberapa waktu lalu ia tolak secara halus. Aurora terdiam, perasaan campur aduk menguasai dirinya.
Fandi, pikirnya. Ia mengomentari status WhatsApp Aurora yang berisi foto barang kesayangannya yang mulai rusak. Tidak ada kaitannya dengan perasaan, tidak ada kata-kata buruk. Namun Aurora tahu, pesan itu lebih dari sekadar komentar. Ini adalah ungkapan perasaan yang masih tersisa—kekecewaan, mungkin.
Aurora memutar ingatan, mencari apakah ia pernah bersikap tidak baik pada Fandi. Beberapa minggu lalu, Fandi memang memintanya untuk "berkomitmen" tanpa memberi kepastian. Tapi Aurora dengan jujur menolak. Ia tidak memiliki perasaan terhadap Fandi. Ia juga merasa tak pernah memberi harapan, hanya membalas chat seperlunya, tanpa nada yang bisa disalahartikan.
Namun, meski penolakan itu dilakukan dengan hati-hati, tampaknya Fandi masih menyimpan perasaan. Dan kini Aurora terjaga sampai adzan Subuh, pikirannya tak berhenti memutar skenario tentang apa yang harus ia lakukan.
Pukul 08.18, Aurora terbangun dengan kesimpulannya. Ia langsung mengetik pesan untuk Davira, sahabat sekaligus psikolog pribadinya.
"Sepertinya saya bertanggung jawab membalas perasaan orang-orang." Pesan itu diakhiri dengan emoji senyum.
Davira, seperti biasa, merespons dengan santai. "Masih pagi aku udah diteror sama si Pisces overthinking. Apa lagi ini?"
Aurora mengirim tangkapan layar chat Fandi. Davira langsung membalas panjang, seperti sudah tahu betul kebiasaan sahabatnya ini.
"Ra, kita nggak punya tanggung jawab terhadap perasaan orang lain, selama kamu nggak pernah memberi harapan. Justru, sikap jujur kamu itu bentuk tanggung jawab. Kalau dia tetap kekeh meski kamu sudah menolak, itu bukan urusan kamu lagi. Kamu cukup buat batasan, jangan sampai itu mengganggu kesehatan mentalmu."
Aurora membaca dengan seksama, setuju dengan kata-kata sahabatnya. Davira menambahkan, "Pokoknya, jangan biarkan orang lain membuatmu merasa bersalah atas sesuatu yang bukan salahmu. Kamu sudah jujur, itu cukup."
Davira menutup ceramahnya dengan nada ringan. "Sudah ya, mandi, sarapan. Nanti aku jemput, kita healing bareng. Jangan mikirin yang nggak perlu. Semangat, Ra!"
Aurora tersenyum. Pesan itu menenangkan hatinya. Ia mengetik balasan singkat. "Makasih, Vir. Aku anggap case closed. Nanti aku curhat yang lain ya. Hehe."
Sambil menatap jendela, Aurora menarik napas panjang. Dalam hati, ia berjanji untuk lebih tegas pada dirinya sendiri. Ia tak bisa bertanggung jawab atas perasaan orang lain. Tapi ia bisa bertanggung jawab menjaga dirinya.
Kita bukan bertanggung jawab atas perasaan orang lain, tapi kita bertanggung jawab untuk jujur pada mereka dan diri sendiri.
Baca juga Puisi Selasa dan Rasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar