![]() |
Sumber : Pangeran Halkenburg (hunterxhunter.fandom.com) |
Saya mengenal istilah Trolley Problem bukan dari buku
filsafat atau ruang kelas etika, tapi dari tempat yang barangkali tak biasa:
manga Hunter x Hunter. Tepatnya di chapter 382, saat Pangeran Halkenburg
dari Kerajaan Kakin mencoba menghentikan perang saudara antar ahli waris.
Sebagian mungkin sudah tahu dilema klasik ini: sebuah troli
melaju tak terkendali menuju lima orang. Kita berdiri di dekat tuas yang bisa
mengalihkan troli ke rel lain—tapi di sana ada satu orang. Tarik tuas: satu
orang mati, lima selamat. Diam saja: lima mati, satu selamat. Dilema ini sudah
lama menjadi bahan diskusi moral dan etika.
Namun yang menarik bagi saya, Hunter x Hunter
menyajikannya secara berbeda. Bukan soal tarik atau tidak tarik. Sang Raja
berkata pada Halkenburg:
“Pertanyaannya bukan pada dua pilihan itu. Tapi siapa yang
akan menarik tuasnya?”
Di titik itu saya merasa... ini bukan lagi soal benar atau
salah, tapi soal posisi dan tanggung jawab. Kita sering membahas
moralitas seolah-olah semua orang punya pengaruh yang sama. Padahal, dalam
kenyataan, yang punya kuasa—yang pegang tuas—bisa menentukan arah
kehidupan banyak orang. Dan mereka yang tak punya kuasa? Terkadang hanya bisa
menunggu untuk diselamatkan atau dikorbankan.
Pangeran Halkenburg pun berubah. Dari seseorang yang ingin
menghentikan perang dengan cara ekstrem, menjadi seseorang yang sadar: jika
ingin mengubah sistem, dia harus menjadi orang yang memegang tuas itu. Menjadi
raja.
Ini membuat saya berpikir lebih jauh. Dalam hidup, saya
percaya bahwa untuk mencapai sesuatu, memang harus ada pengorbanan. Tapi
pengorbanan itu ada batas toleransinya. Jangan sampai keberhasilan kita
dibangun dari luka orang lain yang seharusnya bisa dicegah.
Trolley Problem bisa jadi metafora kehidupan sosial: dalam
pekerjaan, dalam politik, bahkan dalam relasi pribadi. Kadang kita dihadapkan
pada pilihan sulit. Diam, dan membiarkan masalah berjalan? Atau bertindak, dan
menanggung risiko? Dan yang lebih penting lagi: apakah kita sedang memegang
tuas, atau hanya menonton dari jauh?
Dari refleksi ini, saya mencoba merumuskan lima langkah
sederhana dalam menghadapi dilema etis:
- Pahami
fakta dan opsi nyata. Kadang ada lebih dari dua pilihan.
- Nilai
risiko dan manfaat. Cari keseimbangan yang proporsional.
- Jaga
prinsip. Jangan mengorbankan nilai demi hasil instan.
- Ukur
batas pengorbanan. Jangan jadikan orang lain sebagai “alat”.
- Ambil
tanggung jawab. Karena diam juga adalah pilihan, dan tiap pilihan
punya akibat.
Hunter x Hunter tidak memberi jawaban moral yang pasti. Tapi
justru di situlah kekuatannya. Ia menyentil kesadaran kita bahwa moralitas
bukan hanya soal teori, tapi tentang keberanian mengambil sikap dalam sistem
yang tidak ideal.
Akhirnya, bagi saya, yang terpenting bukan hanya
“apa pilihan kita dalam dilema”—tetapi apakah kita cukup siap, cukup bijak, dan
cukup bertanggung jawab untuk memegang tuas itu saat waktunya tiba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar