Halaman

Jumat, 23 Mei 2025

Siapa yang Menarik Tuas? Refleksi Moral dari Trolley Problem dan Hunter x Hunter

Sumber : Pangeran Halkenburg (hunterxhunter.fandom.com)


Saya mengenal istilah Trolley Problem bukan dari buku filsafat atau ruang kelas etika, tapi dari tempat yang barangkali tak biasa: manga Hunter x Hunter. Tepatnya di chapter 382, saat Pangeran Halkenburg dari Kerajaan Kakin mencoba menghentikan perang saudara antar ahli waris.

Sebagian mungkin sudah tahu dilema klasik ini: sebuah troli melaju tak terkendali menuju lima orang. Kita berdiri di dekat tuas yang bisa mengalihkan troli ke rel lain—tapi di sana ada satu orang. Tarik tuas: satu orang mati, lima selamat. Diam saja: lima mati, satu selamat. Dilema ini sudah lama menjadi bahan diskusi moral dan etika.

Namun yang menarik bagi saya, Hunter x Hunter menyajikannya secara berbeda. Bukan soal tarik atau tidak tarik. Sang Raja berkata pada Halkenburg:

“Pertanyaannya bukan pada dua pilihan itu. Tapi siapa yang akan menarik tuasnya?”

Di titik itu saya merasa... ini bukan lagi soal benar atau salah, tapi soal posisi dan tanggung jawab. Kita sering membahas moralitas seolah-olah semua orang punya pengaruh yang sama. Padahal, dalam kenyataan, yang punya kuasa—yang pegang tuas—bisa menentukan arah kehidupan banyak orang. Dan mereka yang tak punya kuasa? Terkadang hanya bisa menunggu untuk diselamatkan atau dikorbankan.

Pangeran Halkenburg pun berubah. Dari seseorang yang ingin menghentikan perang dengan cara ekstrem, menjadi seseorang yang sadar: jika ingin mengubah sistem, dia harus menjadi orang yang memegang tuas itu. Menjadi raja.

Ini membuat saya berpikir lebih jauh. Dalam hidup, saya percaya bahwa untuk mencapai sesuatu, memang harus ada pengorbanan. Tapi pengorbanan itu ada batas toleransinya. Jangan sampai keberhasilan kita dibangun dari luka orang lain yang seharusnya bisa dicegah.

Trolley Problem bisa jadi metafora kehidupan sosial: dalam pekerjaan, dalam politik, bahkan dalam relasi pribadi. Kadang kita dihadapkan pada pilihan sulit. Diam, dan membiarkan masalah berjalan? Atau bertindak, dan menanggung risiko? Dan yang lebih penting lagi: apakah kita sedang memegang tuas, atau hanya menonton dari jauh?

Dari refleksi ini, saya mencoba merumuskan lima langkah sederhana dalam menghadapi dilema etis:

  1. Pahami fakta dan opsi nyata. Kadang ada lebih dari dua pilihan.
  2. Nilai risiko dan manfaat. Cari keseimbangan yang proporsional.
  3. Jaga prinsip. Jangan mengorbankan nilai demi hasil instan.
  4. Ukur batas pengorbanan. Jangan jadikan orang lain sebagai “alat”.
  5. Ambil tanggung jawab. Karena diam juga adalah pilihan, dan tiap pilihan punya akibat.

Hunter x Hunter tidak memberi jawaban moral yang pasti. Tapi justru di situlah kekuatannya. Ia menyentil kesadaran kita bahwa moralitas bukan hanya soal teori, tapi tentang keberanian mengambil sikap dalam sistem yang tidak ideal.

Akhirnya, bagi saya, yang terpenting bukan hanya “apa pilihan kita dalam dilema”—tetapi apakah kita cukup siap, cukup bijak, dan cukup bertanggung jawab untuk memegang tuas itu saat waktunya tiba.
 

Rabu, 21 Mei 2025

Bekerja dengan Kesadaran Taktis – Catatan Kecil dari Meja yang Kadang Penuh Laporan, Kadang Penuh Camilan

Dokumentasi pribadi



Tepat pagi ini, saya membaca sebuah tulisan tentang almarhum Ibrahim Sjarief Assegaf — suami dari Najwa Shihab di akun Instagram Narasi. Di situ, terselip satu kalimat yang tidak langsung saya pahami, tapi lama-lama terasa mengendap di kepala: bekerja dengan kesadaran taktis.

Kalimat itu seperti menampar lembut cara saya (dan mungkin banyak dari kita) menjalani pekerjaan. Kalimat itu mengingatkan saya: jangan-jangan selama ini saya bekerja bukan karena sadar, tapi karena sudah terlalu terbiasa.

Di kantor, saya dikelilingi dua kutub budaya kerja. Ada senior yang sudah khatam dengan segala proses, bahkan bisa bikin SOP tanpa buka buku. Ada juga junior yang gesit, kreatif, tapi kadang terlalu semangat sampai lupa mana yang penting dan mana yang cuma tren TikTok. Saya sendiri? Ya, kadang merasa jadi jembatan, kadang juga merasa jadi jembatan yang bolong-bolong.

Yang paling sering saya lihat — dan ini mungkin terdengar akrab buat banyak orang — adalah pola kerja yang penting ada hasil, asal tidak dimarahi, dan kalau bisa, bisa pulang cepat. Tujuan pekerjaan? Itu nanti saja dipikir, yang penting beres dulu. Laporan jadi semacam formalitas yang penting masuk sebelum deadline, bukan cerminan dari proses yang benar-benar menyentuh masyarakat.

Lalu saya kembali ingat frasa tadi: bekerja dengan kesadaran taktis. Bagi saya, itu bukan kerja yang asal cepat, bukan juga yang selalu harus ribet. Tapi kerja yang tahu medan, tahu arah, dan tahu kenapa harus dilakukan. Ada kesadaran tentang siapa yang akan terdampak, dan bagaimana kerja kita — sekecil apapun — punya efek nyata.

Almarhum Ibrahim Sjarief Assegaf dikenal sebagai sosok yang tenang, dalam, dan bekerja dalam diam. Tapi justru dari ketenangannya itu, lahir pengaruh yang besar. Tak banyak bicara, tapi tepat melangkah. Tidak mengejar sorotan, tapi meninggalkan kesan. Semoga Allah merahmati beliau, dan semoga kita yang masih di jalan pengabdian bisa meneladani sedikit dari nilai yang ia hidupkan: bekerja dengan hati, dengan akal, dan dengan kesadaran.

Saya tahu saya belum bisa membawa perubahan besar. Tapi saya mulai dari yang kecil: mencoba hadir penuh dalam setiap tugas, sesederhana menyapa rekan kerja dengan tulus, atau menulis laporan yang tidak sekadar copy-paste dari tahun lalu (ya, saya juga pernah begitu, jangan munafik).

Karena saya percaya, kesadaran itu menular. Dan jika suatu hari lingkungan kerja saya menjadi lebih hidup dan bermakna, mungkin itu bukan karena saya hebat. Tapi karena saya memutuskan untuk sadar — meski awalnya sambil ngopi dan ngemil.

Selasa, 13 Mei 2025

Ketika Hidup Terasa Gila: Renungan di Puncak Sunyi

 

Source : Dokumentasi Pribadi

"When life itself seems lunatic, who knows where madness lies?"
— Tara Westover, Educated

Ada momen dalam hidup ketika semuanya terasa absurd. Kita tahu ada yang salah, tapi tak ada yang berani menunjuk—karena kegilaan sudah jadi kesepakatan umum. Hal-hal yang salah diulang terus sampai jadi kebiasaan, dan ketika seseorang datang membawa kebenaran, ia justru dianggap menyimpang.

Pertanyaan itu saya bawa ketika suatu pagi saya memutuskan mendaki seorang diri. Rencana awal saya ingin snorkeling bersama teman-teman, tapi mereka batal. Dan saya, mungkin karena tak ingin hari itu berlalu begitu saja, memilih mendaki bukit seorang diri.

Saya datang dengan ringan: jaket, hape, dan dompet. Tubuh saya cukup fit, walau mata masih sedikit bengkak. Saya berjalan cepat, melewati rombongan-rombongan lain, dan dalam 35 menit saya sampai di puncak—rekor pribadi saya.

Di sana saya memesan kopi hitam dan mie kuah, duduk di depan warung, dan mulai merenung. Dari ketinggian, saya melihat laut, kota, dan gunung, sebagian diselimuti awan mendung. Tidak hujan di tempat saya berdiri, tapi hujan sepertinya turun di bawah sana—seperti simbol hidup: kadang mendung tidak berarti kita akan basah.

Di sana, saya sadar: kesendirian tidak selalu berarti kesepian. Kadang justru dari sunyi itulah muncul kesadaran—tentang cinta, luka, dan makna kecil yang selama ini kita remehkan.

Saya teringat pasangan saya. Kami sedang berjuang menuju pernikahan, tapi terkendala uang panaik yang dalam budaya kami, bisa mencapai ratusan juta. Saya bukan orang kaya. Dan dia, dulunya cinta kami pernah kandas. Tapi anehnya, saya tetap sayang. Entah kenapa, berjalan dengannya selalu terasa nyaman. Ia manja, tapi juga punya kedewasaan yang membuat saya merasa pulang.

Ada dilema yang tidak bisa saya ceritakan ke banyak orang. Karena ketika cinta diuji bukan oleh rasa, tapi oleh budaya, status sosial, dan masa lalu yang rumit, siapa yang bisa menentukan letak kegilaannya?

Mungkin benar kata Tara Westover, kegilaan itu bukan sekadar kehilangan akal. Kadang, justru dunia yang sudah kehilangan nurani, tapi masih percaya dirinya waras. Dan kita—yang mencoba tetap jujur, merasa aneh sendiri.

Tapi di puncak sunyi itu, saya sadar satu hal: kebahagiaan tidak selalu datang dari apa yang megah. Kadang dari hal sederhana—secangkir kopi, embusan angin, dan keberanian untuk tetap mencintai, walau tak semua bisa dimenangkan.